Riski Alfandi
Sejak awal diberlakukannya kebijakan Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Aceh, kita semua dipaksa untuk meninggalkan sistem perbankan konvensional dan hanya bisa menggunakan layanan perbankan syariah, dengan BSI sebagai salah pemegang monopoli. Argumen yang digunakan adalah bahwa sistem ini akan lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam, lebih aman, dan lebih menguntungkan masyarakat. Namun, setelah bertahun-tahun berjalan, yang kita dapatkan justru sebaliknya: layanan buruk, sistem yang sering eror, dan manajemen yang tidak transparan.
Menurut opini Riski Alfandi Ketua HMI Fakultas Pertanian USK
Puncaknya terjadi sejak 9 Februari 2025, ketika aplikasi Byond BSI mengalami gangguan besar di Aceh. Bukan kali pertama, dan tampaknya bukan yang terakhir. Banyak nasabah mengeluhkan ketidakmampuan mereka mengakses rekening, melakukan transaksi, bahkan sekadar mengecek saldo. Jika ini adalah bank yang digadang-gadang sebagai kebanggaan umat, maka ini adalah kebanggaan yang penuh dengan kepalsuan.
Sejarah Kelam BSI yang Tidak Pernah Belajar dari Kesalahan.
Kasus error ini hanya menambah daftar panjang kegagalan BSI yang terus berulang. Kita masih ingat bagaimana pada 8 Mei 2023, layanan mobile banking dan ATM BSI lumpuh total selama hampir sepekan. Awalnya, BSI mengklaim bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh pemeliharaan sistem, tetapi kemudian terungkap bahwa serangan siber adalah penyebab utamanya. Bukannya transparan dan segera bertindak, BSI justru menutup-nutupi masalah ini hingga kepercayaan nasabah semakin menurun.
Tidak hanya itu, pada tahun yang sama, seorang nasabah kehilangan dana sebesar Rp378 juta akibat aksi phishing. Alih-alih bertanggung jawab, BSI justru menyalahkan korban tanpa introspeksi mendalam terhadap lemahnya sistem keamanan mereka. Bagaimana mungkin bank sebesar ini tidak memiliki perlindungan yang cukup bagi nasabahnya?
Pertanyaannya: mengapa setiap kali terjadi masalah, BSI hanya bisa meminta maaf tanpa ada perbaikan nyata? Apakah mereka menganggap nasabah bisa terus bersabar tanpa batas? Apakah mereka berpikir bahwa monopoli mereka di Aceh membuat mereka kebal kritik?
BSI, Bank dengan Kinerja Buruk yang Dipaksakan kepada Masyarakat
Jika kita membandingkan BSI dengan bank lain di Indonesia, perbedaannya sangat mencolok. Bank Central Asia (BCA) secara konsisten diakui sebagai bank dengan pelayanan terbaik di Indonesia, dengan aplikasi perbankan digital seperti BCA Mobile dan KlikBCA yang jarang mengalami gangguan. Sementara itu, Bank Mandiri berhasil meraih penghargaan sebagai Best Bank in Indonesia versi Euromoney Award for Excellence 2024, menunjukkan komitmen mereka dalam memberikan layanan finansial yang inovatif dan menyeluruh.
Lalu, di mana posisi BSI? Tidak ada dalam daftar bank terbaik, tidak juga diakui secara internasional, tetapi justru dipaksakan beroperasi di Aceh dengan dalih syariah. Inilah bentuk monopoli yang menyengsarakan rakyat.
Monopoli BSI: Kesalahan Fatal yang Harus Segera Dikoreksi
Masyarakat Aceh harus sadar bahwa monopoli ini bukan bagian dari ekonomi Islam yang sehat. Dalam sistem ekonomi Islam, kejujuran, profesionalisme, dan transparansi adalah prinsip utama. Namun, apa yang terjadi di Aceh justru bertentangan dengan itu semua. BSI menikmati monopoli, tetapi tidak pernah menunjukkan kualitas layanan yang setara dengan posisinya sebagai bank satu-satunya di Aceh.
Seperti yang dikatakan oleh Warren Buffett:
“It takes 20 years to build a reputation and five minutes to ruin it.”
BSI sudah berkali-kali merusak reputasinya, tetapi tetap merasa aman karena tidak ada kompetitor yang bisa menyaingi mereka. Jika tidak ada perbankan lain yang bisa bersaing, di mana letak keadilan bagi nasabah?
BSI Harus Dievaluasi atau Dihapuskan dari Aceh
Kegagalan demi kegagalan ini menunjukkan bahwa sudah waktunya kita menuntut evaluasi menyeluruh terhadap BSI. Pemerintah Aceh harus berani mengambil sikap tegas:
Mengembalikan bank konvensional ke Aceh sebagai opsi bagi masyarakat. Jika BSI memang unggul, biarkan masyarakat memilih sendiri. Tidak perlu ada paksaan.
Menuntut audit independen terhadap sistem BSI, khususnya terkait keamanan data dan transparansi keuangan mereka. Jika mereka gagal menjaga stabilitas layanan, mereka harus diberi sanksi.
Menghentikan monopoli BSI di Aceh dan memberikan kesempatan bagi bank syariah lain untuk beroperasi, agar ada persaingan yang memacu perbaikan layanan.
Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan masyarakat Aceh menjadi korban dari sistem yang tidak bekerja. Jika BSI tidak mampu memberikan layanan perbankan yang baik, maka sudah saatnya kita mempertanyakan: apakah mereka pantas mendapatkan kepercayaan kita?
Saya, Riski Alfandi, sebagai seorang anak muda Aceh yang peduli terhadap masa depan daerah ini, merasa perlu menyuarakan ketidakadilan ini. BSI telah menunjukkan ketidakmampuannya berkali-kali, dan kita harus bersikap tegas. Kepercayaan dan keamanan finansial adalah hak setiap nasabah, dan tidak seharusnya dikompromikan oleh ketidakmampuan institusi perbankan tertentu. (*)
WARTAWAN SAIFUL AMENO